Thursday, April 25, 2013

Tukang Pecel dan Tukang Musik lama-lama punah.

(Tulisan ini hanya untuk yang suka makan pecel, yang baru lulus SMA dan yang punya anak baru lulus SMA)
Ketika aku kecil, ibuku (sang pendidikku yang pertama) akan menegurku dengan sebuah teguran yang mengusik pikiranku bahkan sampai dengan aku menjadi ibu.

"Nak belajar! Kalo ngga mau jual pecel aja sana!"

Teguran ini selalu berhasil, aku akan segera meninggalkan apapun yang mengalihkan perhatianku dari pelajaran (majalah, TV, komik) begitu kudengar kalimat ini. Bukan, bukan karena aku tidak mau menjual pecel. Tapi lebih karena aku tidak mengerti apa hubungannya jual pecel sama tidak belajar?

Ketika kudengar teguran itu untuk pertama kalinya, yang ada dalam pikiranku (SD) :

("Memangnya kalo ngga belajar pasti jadi tukang jual pecel?")

Ketika usia dan logikaku bertambah, seiring perubahan psikologisku yang mulai merasakan sedikit angin pemberontakan dalam diri dan teguran itu semakin sering kudengar yang ada dalam pikiranku(SMP) :

("Memangnya tukang jual pecel ngga belajar?!)

Ketika aku mulai lebih bertanggung jawab & teguran itu mulai jarang kudengar yang ada dalam pikiranku (SMA):

("Memangnya kenapa kalo jadi tukang jual pecel?")

Seandainya jawaban ini tidak hanya kusimpan dalam pikiranku dan kulontarkan pada ibuku pasti jawabannya tidak boleh. Jarang ada orang tua yang mendukung anaknya jadi tukang jual pecel. Anda juga termasuk salah satunya kan?

Walaupun belakangan ini ibuku mengekspor ber ton ton sambel pecel dari Kediri (kota kelahiranku) ke Jakarta (Majas Ironi = sindiran halus). Sambel pecel dari Kediri ternyata dinilai paling enak oleh orang-orang Jakarta, menggeser kedudukan sambel pecel Madiun. Si tukang jual pecel yang tadinya jadi bahan ibuku untuk memberiku gambaran mengerikan kemiskinan akibat tidak belajar kini menjadi pengusaha pecel nan sukses. Kini ia membeli rumah di belakang warung kecilnya dan mengubahnya menjadi pabrik sambel pecel. Karyawannya setiap hari semakin bertambah dan Ibuku sering kehabisan stock akibat tidak memesan sebelumnya. Pemasukkannya dapat lah anda sumsikan sendiri. Aku tidak terlalu pintar dalam hal Akuntansi.

Teguran khas ibuku, tidak bisa lagi kupakai untuk menegur anakku nantinya. Tukang jual pecel itu = sukses.
Namun teguran ibu itu kini telah menjelma menjadi jenis teguran baru yang lebih modern namun berakar dari dasar pemikiran yang sama, sebuah pengecilan makna akan profesi tertentu.( Majas Litotes. (Ungkapan yang merendahkan atau mengecilkan makna sebenarnya)

Kemarin ketika aku bertemu dengan siswa kelas XII yang datang ke sekolah bersama orang tuanya untuk menyelesaikan administrasi, aku mendengar sebuah Majas Litotes khas Ibuku.

Maminya Jonathan: "Iya bu, masa Jonathan mau masuk jurusan Musik. Mau jadi apa coba?!"

Ketika kini aku telah menjadi ibu dan guru dan teguran macam itu kudengar lagi yang ada di dalam pikiranku (guru dari siswa SMA kelas XII yang siap akan menyongsong masa depan dan guru dari Jonathan):

"Memangnya kenapa kalo jadi tukang Musik??"

Jawaban itu kini tidak lagi hanya kusimpan dalam pikiranku..



2 comments:

  1. Woohoo..that's right, all of themhave the rights to learn what they want to learn..
    Saya belum kesampaian, well, maybe later Im gonna make it happened, to my child. Kelak.
    :) thanks for your post, keep upnthe food work mbak..

    ReplyDelete
  2. *keep up the good work* typooo maap

    ReplyDelete