Monday, April 22, 2013

"ketika tentara kehabisan solar"


Jarang sekali ada guru mau sama tentara. (Aku termasuk di statistik yang rendah itu). Kebanyakan perawat (mungkin karena sang tentara berpikir nanti kalo kena tembak kan enak diobatin istri sendiri – lha perangnya di mana istri di mana...). Kalo di Angkatan udara nomor dua terbanyak profesi istri tentara adalah pramugari. Biar kalo terbang pramugari pesawatnya istri sendiri. (ini lebih ga masuk akal, pesawat militer ga ada pramugarinya woi). Yang jelas profesi guru jarang bersanding dengan profesi tentara.

Mungkin karena pola pikir dua profesi ini saling berbenturan, kami para guru dididik untuk mendidik siswa menjauhi konflik (mencegah, mengurangi, meminimalisir). Sedangkan tentara dididik untuk mendatangi konflik (entah untuk memulai atau untuk menyelesaikan). Ketika seorang guru dan prajurit diberikan sebuah benang kusut, si guru akan berlama-lama mengurainya, si tentara akan mengambil gunting dan memangkas bagian kusut dari benang itu (pengalaman diujikan kepada saya sendiri beserta suami).

Namun apapun profesi seorang istri tentara ada kesaamaan pasti di antara kami. Kami sama-sama menyadari akan menjadi orang nomor dua dalam kehidupan seorang tentara. (kok ya mau-maunya....) Nomor satu negara, beserta sederetan tugas dan tanggung jawabnya. (daerah bencana, daerah konflik, patroli batas terluar, dll dll). Istri beserta tugas-tugas rumah tangga adalah nomor dua. Menikahi tentara berarti memperbaiki pompa air sendiri, mengganti air radiator mobil sendiri, mengantar anak sakit ke rumah sakit pukul 00.00 sendiri, dan iya sering tidur sendiri.

Kami bahkan menandatangani sebuah kontrak untuk mendukung tugas suami sepenuhnya. 
Mendukung berarti anda dan saya tidak bisa merengek ngajak kabur ke gunung ketika Bapak Kim Jong Un dan Obama sepakat untuk tidak sepakat dan tiba-tiba memutuskan untuk membuat trilogi Perang Dunia ke III.  Ketika negara membutuhkan seorang tentara (suami anda, anak anda, kakak anda, ayah anda) untuk berdiri di garis depan membela negara, profesi yang satu ini jauh dari statistik mangkir.

“Pak saya ijin tidak masuk soalnya anak saya rapotan.”

“Iya deh, nanti habis ngambil rapot langsung ke garis depan ya”

(Ini dialog yang hampir tidak pernah kujumpai di dunia militer. )

Lalu kenapa semua perempuan yang melipat seragam loreng dari tempat cucian mau menikahi seorang tentara? Ini adalah beberapa jawaban yang kudapat dari mereka:

Karena ketika anakku ulang tahun ayahnya memutuskan untuk memenuhi tugasnya menyalurkan bahan makanan dan obat-obatan ke daerah-daerah terpencil yang tak terjangkau pesawat sipil.

Karena ketika hari itu adalah perayaan ulang tahun pernikahan kami suamiku memutuskan untuk memenuhi tugasnya patroli daerah perbatasan Indonesia.

Karena ketika malam begitu kelam dan pilu dan aku harus tertidur sendiri suamiku memilih untuk melaksanakan tugasnya terjaga di daerah konflik mempertaruhkan nyawa.

Karena ketika seseorang memutuskan untuk menahan soal-soal Ujian Nasional dan yang lain menimbun bahan bakar, suamiku memutuskan untuk melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab tanpa memikirkan keuntungan, keluarganya bahkan dirinya sendiri.

“Papa, mobil kita ga bisa jalan, solar habis di mana-mana” (Lokasi : Malang)

“Aduuuuh kasian mama, papa patroli dulu ya habis ini kita pikirkan sama-sama” (Lokasi: Merauke 0 km Indonesia).









2 comments: