Tuesday, April 9, 2013

Gegar Budaya

Menjadi guru dan murid itu berbatas waktu. Di sekolahku dua jabatan ini hanya berlaku mulai pukul 07.00-14.00, hari Senin-Saptu. Di Indonesia karier menjadi murid mungkin akan berakhir pada kisaran usia 17 th (wajib belajar 12 tahun) dan menjadi guru hanya sampai dengan usia 60 th. (usia pensiun standard guru pegawai negeri sipil). Pada jam-jam, atau hari-hari, atau usia-usia tertentu kita berhenti menjadi guru atau murid. Lain halnya dengan pendidikan, “education is a lifetime” (lupa yang ngomong siapa, yang ngerasa bisa langsung comment), pendidikan berlangsung seumur hidup. Termasuk di dalamnya mendidik seumur hidup dan terdidik seumur hidup. Maka aku selalu menyempatkan diri di akhir kegiatan mengajar untuk belajar pada bapak ibu guru mata pelajaran yang lain. Lumayan aku bisa menimba banyak ilmu. (Sebaiknya istilah itu diganti dengan memompa, - memompa ilmu, hasilnya lebih banyak energinya lebih sedikit,- bandingkan dengan menimba).
Beberapa hal yang sudah kupelajari:
  1. Sebutan guru dalam bahasa Cina adalah Lao Tse.
  2. Awalan “me-“ ditempel pada kata “ubah” menjadi “merubah”, bukan “mengubah”.
  3. Cara untuk menghitung kecepatan (V) adalah: membagi jarak (m) dengan waktu (t).
Lumayan kan?
Ketika minggu lalu giliran belajarku sampai pada pelajaran Antropologi, aku mengalami kemacetan pikiran. Brain Block. (entah istilah itu ada atau tidak). Topik yang kupelajari adalah “Gegar Budaya”. Mengingat antropologi adalah ilmu sosial yang abstract dan hanya bisa diimajinasikan maka aku berusaha untuk mengimajinasikan penjabaran panjang mengenai “Gegar Budaya”. Namun seberapapun keras aku berusaha, yang tergambar di kepalaku ketika mendengar dua kata itu tetaplah kepala retak karena kecelakaan lalu-lintas. Otakku tidak bisa membedakan “Gegar Otak” dengan “Gegar Budaya”. Namun yang namanya ilmu bisa didapat dari mana saja. Bahkan ketika kita dikerumuni orang-orang yang dianggap kurang berpendidikan, kita bisa mendapat ilmu.
Seperti ketika aku pulang sekolah dan pembantuku yang bernama mbak Tatik tiba-tiba minta diantarkan pulang, sudah 2 minggu ini ia dibuntuti hidung belang. Karena kebetulan suamiku belum pulang dari kantor maka aku meminta tolong Bapak Moreira yang tinggal di sebelah rumah untuk mengantar kami. Beliau adalah orang asli Papua yang berbadan besar dan berkulit hitam (biasa disebut orang Noge). Mengingat penampang fisiknya, aku berencana memintanya untuk mengusir si hidung belang yang menguntit mbak Tatik. Maka sore itu juga kami berangkat bersama-sama menuju desa Trajeng tempat tinggal mbak Tatik.
Memasuki desa Trajeng, jalan aspal berubah menjadi tanah berbatu. Bahasa Indonesia mulai bercampur-baur dengan bahasa Jawa khas kampung Trajeng. Orang-orang kota berpakaian mbois berprofesi pengusaha dan orang kantoran mulai berganti dengan orang-orang asli Trajeng yang suka memakai sarung dan songkok di sore hari dan biasanya bekerja menjadi buruh tani, pembantu rumah tangga, buruh pabrik. (biasa disebut orang Samin). 500 m dari rumah mbak Tatik, di sebuah gang yang sempit mobil, kami berpapasan dengan truk besar yang mengangkut muatan berat. Di kedua tepi jalan menganga got yang basah licin dan benyek yang bisa menjerembab ban kami dan menghisapnya seperti pasir hisap. (Setelan lebai diaktifkan). Pokoknya situasinya menyulitkan. Dengan sigap Pak Moreira turun dari mobil dan memeriksa keadaan.
“eee, kita banting kiri saja ibu, masi bisa ini.”
“Iya pak”. (jawabku pasrah)
Pak Moreira kemudian minta tolong pada seorang bapak-bapak yang duduk di teras depan rumahnya tepat di sebelah kiri jalan di mana kemacetan terjadi.
“eee bapak, sa mau banting kiri, tolong lihatkan ban saya ya!” (menggunakan logat Noge yang kental)
“Iya pak!” (menggunakan logat Samin yang kental)
Bapak-bapak itu kemudian berdiri dari kursinya dan berjalan mendekati mobil dan langsung menyelusup ke bagian bawah mobil kami dan memeriksa ban mobil dengan seksama. Pak Moreira bingung dan bertanya pada mbak Tatik.
“eee kenapa dia pergi ke bawah mobil?” (masih dengan logat Noge yang kental)
“lha tadi bapak yang nyuruh lihatkan ban.” (mbak Tatik sewot dengan logat Saminnya)
Aku turun tangan untuk menengahi keruwetan ini. (dalam hati aku merasa sepertinya aku mulai mengerti apa yang dimaksud gegar budaya).
Sesampainya di rumah mbak Tatik, si hidung belang playboy Samin yang ditakuti mbak Tatik sudah bercokol di depan rumahnya. Mbak Tatik ketakutan, aku mendorong pak Moreira untuk menghadapi laki-laki itu. Pak Moreira turun dari mobil dan berkacak pinggang.
“eee bapak, jadi bapak maunya apa?”
(sebagai catatan, dalam bahasa Indonesia Noge, kalimat ‘maunya apa?’ itu berarti menantang, mengnacam, bukan benar-benar ingin tau apa maunya lawan bicara)
Mendengar pak Moreira, si playboy Samin tadi senyum-senyum sambil mencuri-curi pandang ke mbak Tatik.
“yaaaa.... saya maunya kawin sama mbak Tatik....” (tersipu-sipu)
(sebagai catatan, dalam bahasa Indonesia Samin, kalimat ‘maunya apa?’ itu berarti tulus mempertanyakan keinginan lawan bicara)
Mendengar jawaban itu pak Moreira naik pitam, merasa tantangannya disambut. Mbak Tatik semakin sewot dengan pak Moreira dan semakin jijai pada si playboy Samin. Si playboy Samin sendiri merasa bingung kenapa pak Moreira marah mendengar jawabanya. Aku terpaksa menjadi penengah sekaligus penterjemah dalam situasi konflik antar budaya ini.
(dalam hati aku merasa aku sudah mengerti apa itu gegar budaya - keadaan di mana beberapa orang dengan latar belakang budaya yang berbeda bersinggungan sehingga mengakibatkan gegar otak pada tiap-tiap orang tersebut. Yups. Ngerti!)
Gegar Budaya.
Keesokannya ketika aku dengan jumawa menceritakan hal ini pada bapak guru yang mengajar antropologi, beliau menjawa “Salah bu...”
Ternyata sampai sekarang aku belum mengerti apa itu gegar budaya...
Eliana Hapsari – mbois teacher – never ending learning.

No comments:

Post a Comment