Thursday, April 25, 2013

Tukang Pecel dan Tukang Musik lama-lama punah.

(Tulisan ini hanya untuk yang suka makan pecel, yang baru lulus SMA dan yang punya anak baru lulus SMA)
Ketika aku kecil, ibuku (sang pendidikku yang pertama) akan menegurku dengan sebuah teguran yang mengusik pikiranku bahkan sampai dengan aku menjadi ibu.

"Nak belajar! Kalo ngga mau jual pecel aja sana!"

Teguran ini selalu berhasil, aku akan segera meninggalkan apapun yang mengalihkan perhatianku dari pelajaran (majalah, TV, komik) begitu kudengar kalimat ini. Bukan, bukan karena aku tidak mau menjual pecel. Tapi lebih karena aku tidak mengerti apa hubungannya jual pecel sama tidak belajar?

Ketika kudengar teguran itu untuk pertama kalinya, yang ada dalam pikiranku (SD) :

("Memangnya kalo ngga belajar pasti jadi tukang jual pecel?")

Ketika usia dan logikaku bertambah, seiring perubahan psikologisku yang mulai merasakan sedikit angin pemberontakan dalam diri dan teguran itu semakin sering kudengar yang ada dalam pikiranku(SMP) :

("Memangnya tukang jual pecel ngga belajar?!)

Ketika aku mulai lebih bertanggung jawab & teguran itu mulai jarang kudengar yang ada dalam pikiranku (SMA):

("Memangnya kenapa kalo jadi tukang jual pecel?")

Seandainya jawaban ini tidak hanya kusimpan dalam pikiranku dan kulontarkan pada ibuku pasti jawabannya tidak boleh. Jarang ada orang tua yang mendukung anaknya jadi tukang jual pecel. Anda juga termasuk salah satunya kan?

Walaupun belakangan ini ibuku mengekspor ber ton ton sambel pecel dari Kediri (kota kelahiranku) ke Jakarta (Majas Ironi = sindiran halus). Sambel pecel dari Kediri ternyata dinilai paling enak oleh orang-orang Jakarta, menggeser kedudukan sambel pecel Madiun. Si tukang jual pecel yang tadinya jadi bahan ibuku untuk memberiku gambaran mengerikan kemiskinan akibat tidak belajar kini menjadi pengusaha pecel nan sukses. Kini ia membeli rumah di belakang warung kecilnya dan mengubahnya menjadi pabrik sambel pecel. Karyawannya setiap hari semakin bertambah dan Ibuku sering kehabisan stock akibat tidak memesan sebelumnya. Pemasukkannya dapat lah anda sumsikan sendiri. Aku tidak terlalu pintar dalam hal Akuntansi.

Teguran khas ibuku, tidak bisa lagi kupakai untuk menegur anakku nantinya. Tukang jual pecel itu = sukses.
Namun teguran ibu itu kini telah menjelma menjadi jenis teguran baru yang lebih modern namun berakar dari dasar pemikiran yang sama, sebuah pengecilan makna akan profesi tertentu.( Majas Litotes. (Ungkapan yang merendahkan atau mengecilkan makna sebenarnya)

Kemarin ketika aku bertemu dengan siswa kelas XII yang datang ke sekolah bersama orang tuanya untuk menyelesaikan administrasi, aku mendengar sebuah Majas Litotes khas Ibuku.

Maminya Jonathan: "Iya bu, masa Jonathan mau masuk jurusan Musik. Mau jadi apa coba?!"

Ketika kini aku telah menjadi ibu dan guru dan teguran macam itu kudengar lagi yang ada di dalam pikiranku (guru dari siswa SMA kelas XII yang siap akan menyongsong masa depan dan guru dari Jonathan):

"Memangnya kenapa kalo jadi tukang Musik??"

Jawaban itu kini tidak lagi hanya kusimpan dalam pikiranku..



Monday, April 22, 2013

"ketika tentara kehabisan solar"


Jarang sekali ada guru mau sama tentara. (Aku termasuk di statistik yang rendah itu). Kebanyakan perawat (mungkin karena sang tentara berpikir nanti kalo kena tembak kan enak diobatin istri sendiri – lha perangnya di mana istri di mana...). Kalo di Angkatan udara nomor dua terbanyak profesi istri tentara adalah pramugari. Biar kalo terbang pramugari pesawatnya istri sendiri. (ini lebih ga masuk akal, pesawat militer ga ada pramugarinya woi). Yang jelas profesi guru jarang bersanding dengan profesi tentara.

Mungkin karena pola pikir dua profesi ini saling berbenturan, kami para guru dididik untuk mendidik siswa menjauhi konflik (mencegah, mengurangi, meminimalisir). Sedangkan tentara dididik untuk mendatangi konflik (entah untuk memulai atau untuk menyelesaikan). Ketika seorang guru dan prajurit diberikan sebuah benang kusut, si guru akan berlama-lama mengurainya, si tentara akan mengambil gunting dan memangkas bagian kusut dari benang itu (pengalaman diujikan kepada saya sendiri beserta suami).

Namun apapun profesi seorang istri tentara ada kesaamaan pasti di antara kami. Kami sama-sama menyadari akan menjadi orang nomor dua dalam kehidupan seorang tentara. (kok ya mau-maunya....) Nomor satu negara, beserta sederetan tugas dan tanggung jawabnya. (daerah bencana, daerah konflik, patroli batas terluar, dll dll). Istri beserta tugas-tugas rumah tangga adalah nomor dua. Menikahi tentara berarti memperbaiki pompa air sendiri, mengganti air radiator mobil sendiri, mengantar anak sakit ke rumah sakit pukul 00.00 sendiri, dan iya sering tidur sendiri.

Kami bahkan menandatangani sebuah kontrak untuk mendukung tugas suami sepenuhnya. 
Mendukung berarti anda dan saya tidak bisa merengek ngajak kabur ke gunung ketika Bapak Kim Jong Un dan Obama sepakat untuk tidak sepakat dan tiba-tiba memutuskan untuk membuat trilogi Perang Dunia ke III.  Ketika negara membutuhkan seorang tentara (suami anda, anak anda, kakak anda, ayah anda) untuk berdiri di garis depan membela negara, profesi yang satu ini jauh dari statistik mangkir.

“Pak saya ijin tidak masuk soalnya anak saya rapotan.”

“Iya deh, nanti habis ngambil rapot langsung ke garis depan ya”

(Ini dialog yang hampir tidak pernah kujumpai di dunia militer. )

Lalu kenapa semua perempuan yang melipat seragam loreng dari tempat cucian mau menikahi seorang tentara? Ini adalah beberapa jawaban yang kudapat dari mereka:

Karena ketika anakku ulang tahun ayahnya memutuskan untuk memenuhi tugasnya menyalurkan bahan makanan dan obat-obatan ke daerah-daerah terpencil yang tak terjangkau pesawat sipil.

Karena ketika hari itu adalah perayaan ulang tahun pernikahan kami suamiku memutuskan untuk memenuhi tugasnya patroli daerah perbatasan Indonesia.

Karena ketika malam begitu kelam dan pilu dan aku harus tertidur sendiri suamiku memilih untuk melaksanakan tugasnya terjaga di daerah konflik mempertaruhkan nyawa.

Karena ketika seseorang memutuskan untuk menahan soal-soal Ujian Nasional dan yang lain menimbun bahan bakar, suamiku memutuskan untuk melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab tanpa memikirkan keuntungan, keluarganya bahkan dirinya sendiri.

“Papa, mobil kita ga bisa jalan, solar habis di mana-mana” (Lokasi : Malang)

“Aduuuuh kasian mama, papa patroli dulu ya habis ini kita pikirkan sama-sama” (Lokasi: Merauke 0 km Indonesia).









Sunday, April 14, 2013

Puncak Piramida Maslow


Kehilangan pembantu itu seperti supir angkot kehilangan kernek buat wanita karier. Nubruk-nubruk dan rempooong luar biasa. Ibunya Edo (kalo ga tau siapa ini klik posting Cedera Bahasa) limbung dan tidak dapat berfungsi maksimal gara-gara pembantunya keluar karena dilamar orang dan memutuskan untuk jadi ibu rumah tangga saja (IRT - bukan lagi pembantu rumah tanga-PRT). Si ibu yang bekerja sebagai marketing sebuah bank yang ternama yang biasanya smart dan penuh visi ini merana. Sudah beberapa hari ini aku melihatnya pontang-panting di rumah mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Semakin ke sini jabatan bernama ibu rumah tangga semakin tidak diminati perempuan. 
Aku sendiri bukan ibu rumah tangga, hanya minggu ini bertepatan dengan Ujian Nasional jadi aku mendapat libur satu minggu, dan berkesempatan untuk terpapar fenomena yang mengharukan ini. Di kalangan ibu rumah tangga sendiri lebih banyak yang mengeluh daripada yang menyukai status mereka. Banyak di antara mereka yang sebenernya terpaksa menjalani profesi ini. Kalaupun ada yang memberikan testimoni positif, bila kita dengarkan pernyataannya dengan telinga hati maka akan terdengar seperti dipaksakan (telinga hati adalah indra hati yang dipakai untuk mendengar segala sesuatu yang tidak didengar oleh organ pendengaran yng sbenarnya). 

Mari kita analisa pernyataan berikut ini:
“Jadi ibu rumah tangga itu barokah lho jeng, tugas wanita kan memang merawat suami dan anak-anaknya, memang jenuh si jeng tapi apa nggak bangga kalo kita melihat anak kita dan suami kita sukses.”
  1. Pernyataan di atas menjelaskan bahwa kewajiban seorang perempuan adalah:
merawat suami dan anak-anak
  1. Pernyataan di atas menjelaskan bahwa hak seorang perempuan adalah:
melihat anak dan suami sukses √ (yang ini centangnya setengah hati)

Pernyataan ke 2 itu tidak salah tapi kok sedih yah dengernya. Perempuan itu memang perempuan tapi juga manusia individu yang mempunyai kebutuhan yang sama dengan mahluk berjenis kelamin lainnya. Dalam teori piramida Maslow, puncak kebutuhan setiap manusia setelah makanan pakaian dan tempat tinggal, dll adalah pengaktualisasian diri. Dengan kata lain, perempuan juga pingin sukses, bukan cuma ngliatin suami dan anaknya sukses.

Aku yakin banyak yang manggut-manggut baca post ini kaaaan? Buktinya banyak perempuan yang nekat bekerja demi memenuhi kebutuhan ini dan banyak ibu rumah tangga yang mengeluh dan depresi. Tempat-tempat penitipan anak semakin sukses dan aku lebih sering melihat anak kecil digendong baby sitter daripada ibunya sendiri. Pilihan itu memang  tidak pernah gampang. Menjadi ibu rumah tangga yang ikhlas, bersemangat dan bahagia itu perlu motivasi yang lebih tinggi dari sekedar “melihat anak dan suami sukses”.

Bagaimana kalau kita coba sudut pandang yang ini:

Minggu lalu aku menegur seorang murid yang tertidur di kelas. Ini adalah semester pertamaku mengajar kelas 2, jadi aku baru bertemu dengan kasus tidur di kelas. (siswa di kelas yang lebih muda belum ada yang berani tertidur di kelas)

“Alfian bangun. Kamu kok tidur di kelas.”
Alfian terbangun dengan mata yang merah hanya untuk tumbang lagi 10 menit kemudian.

“Alfian, sini kamu, duduk di depan kelas saja. Biar ga ngantuk” (mbois teachernya mulai sewot).

Dia beranjak dari tempat duduknya dan kemudian duduk di sebelah meja guru tepat di dekat kakiku. Aku tidak merasa itu masalah, hari ini hari Senin jadi kami para guru memakai celana. Setengah jam kemudian Reski tertidur lagi, hanya kali ini lebih parah, dia ambruk ke kakiku dan tanpa sadar memelunya erat-erat sambil ngeces! (anda boleh tidak percaya tapi ini benar-benar terjadi!). Satu detik sebelum aku melayangkan LKS (tipis) ke kepalanya aku mendengar dia bergumam “ma..”.

Gumaman itu seperti sebuah lengan imajiner berkekuatan 1000 volt yang menghentikan ayunan tanganku.

Aku melanjutkan kelas dengan Alfian tetap tertidur di kakiku. Siswa yang lain berusaha menahan tawa karena aku menyuruh mereka tidak ribut supaya tidak mengganggu Alfian. Tetes2 air liur itu sudah membentuk pulau kecil di celanaku bagian betis. Bagaimana reaksi Alfian ketika jam pelajaranku berakhir dan aku terpaksa membangunkannya (kali ini dengan penuh kelembutan hati) bisa anda imajinasikan dengan leluasa.

Di ruang guru, ibu Nina guru wali kelas Alfian yang hatinya lebih mbois dari saya menceritakan latar belakang perilaku tidur Alfian. Sejak kelas satu ia sudah terkenal tukang tidur di kelas bahkan tukang bolos. Ketika bu Nina mengunjunginya di rumah rupanya ia tinggal sendiri di rumah yang terletak di kawasan mewah Malang itu. Kedua orang tuanya adalah pengusaha yang berhasil yang selalu bepergian ke luar kota. Ibunya memliki hotel dan convention center yang tersebar di seluruh Asia Tenggara. Dan Alfian sudah sejak TK tinggal di rumah itu sendirian bersama pembantu, sopir, satpam, anjing herder, game online, tv plasma, motor sport dan mobil mewah serta credit card yang siap memenuhi semua kebutuhannya. Ia pontang panting menghadapi semua fasilitas itu, karena ia tidak punya fasilitas bernama “ibu”.

Ibu yang menyuapimu ketika kita kecil.
Ibu yang menemanimu belajar ketika kita mulai bersekolah.
Ibu yang mengomel di malam minggu ketika kita beranjak remaja.
Ibu yang memelukmu di malam hari kapanpun ketika kita membutuhkannya.

Aku tahu, argumen “melihat anak sukses” tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kita akan aktualisasi diri.
Tapi bagaimana dengan argumen “melihat anak gagal”, apakah tidak cukup untuk membuat kita merenungkan kembali:

“Apa sih definisi aktualisasi diri yang sebenarnya....?”




Thursday, April 11, 2013

Cedera Bahasa


Orang bilang tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Ada lagi yang bilang pengalaman adalah guru yang paling baik. Kalau kata Tantowi Yahya, buku adalah candela dunia. Jadi Tantowi Yahya adalah guru yang paling baik di Cina. (Kalau ini kesimpulan anda berarti konsentrasi anda terpecah).

Bagiku sendiri ibulah yang paling bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan kita yang pertama dan yang utama.

Sebagai seorang guru sekaligus ibu, aku sering merasa gundah (bosen galau) melihat anakku yang setiap hari menyerap hal-hal yang kuajarkan baik secara sengaja mauoun tidak sengaja.
Ketika wili (anakku yang baru serusia 3 tahun) membuang bungkus permen di tempat sampah, aku sumringah optimis memandang masa depan.
Ketika willi melemparkan buku pada ayahnya (alih-alih memberikannya dengan penuh sopan dan santun ketika disuruh mengambilkan buku) aku kecut menerima pandangan menusuk menyalahkan dari ayahnya.
Ketika willi mengucapkan terimakasih pada ibu-ibu tetangga rumah yang memberinya roti aku menggandengnya dekat-dekat sambil pasang tampang “iya saya ibunya”.
Ketika wili kencing di halaman depan rumah tepat saat ibu-ibu sedang belanja di seberang jalan, aku pura-pura menyiram bunga tidak menghiraukan seruan willi.

“Ma! Ma! Aku pipis! Tidak ngompol!”

Beberapa psikolog menyatakan anak usia 2-5 tahun seperti spons berjalan, mereka menyerap segala sesuatu dengan lebih mudah dibandingkan spons berusia 20-50 tahun. Itulah mungkin yang menjadi dasar pemikiran ibu-ibu jaman sekarang mulai mengajari balita mereka bahasa Inggris sejak dini. Mumpung sponsnya masi menyerap dengan baik!

Hari minggu ini adalah pertemuan pertama spons ku dengan sponsnya bu Kartika yang tinggal di seberang rumah yang sepertinya telah tersirami bahasa Inggris. Edo (sponsnya bu Kartika usia 3,5 tahun) bersama ibunya berbelanja pada si buk (tukang sayur asli Madura yang rutin lewat rumah setiap pagi). Konflik antar spons terjadi ketika si  buk mengeluarkan seekor ikan kakap dari bakul jualannya.

“Fish!” (Edo)
“Ikan!” (Wili)
Fish!” (Edo)
“Ikan!” (Wili)
“Ini fish kan ma?” (Bu Kartika menganggung penuh charisma)
“Tuh kan ini fish, kakap fish!” (edo)
(Wili tidak meminta dukunganku wajahnya berkerut-kerut mencari cara meyakinkan Edo bahwa ini adalah ikan)

Aku berusaha tidak ikut campur setengah karena aku bangga pada kemandirian willi setengah lagi karena aku tidak mau berkonflik dengan ibu Kartika yang sepertinya bangga sekali telah mengajarkan bahasa Inggris pada anaknya lebih dulu dibandingkan aku. Aku tidak bisa menyalahkan bu Kartika, kurikulum pendidikan setiap ibu adalah hak prerogative (bener ga nulisnya?) bu Kartika.

Mari kita analisa kalimat Edo:

Tuh kan ini        fish,       kakap    fish!”

Kata-kata yang dicetak tebal adalah kata-kata dalam bhs Indonesia, sedangkan “fish” adalah bahasa Inggris. Cedera bahasa ini (mencampurbaurkan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia) menginfeksi Edo karena ia masih berada dalam fase menyerap, belum menyaring dan memilah . Ketika ibu Edo mengajarinya bahasa Inggris Edo menyerapnya, ketika ia berinteraksi dengan orang-orang di luar rumahnya (kebetulan Edo tinggal di Indonesia-seberang rumah) ia menjyerap bahasa Indonesia. Dalam tidurnya, semua serapan itu berbaur tanpa folder-folder yang  terpisah. Ketika pagi hari bahasa-bahasa yang bercampur itu menimbulkan konflik bahasa (Cedera Bahasa).

Maka generasi Edo bermunculan di sana-sini, dan Williku kebingungan menghadapi konflik-konflik akibat Cedera Bahasa…

“yuk Mut ini apa?” (Wili bertanya pada yuk Mut si tukang belanja yang berasal dari Madura)


“Do remak itu ikan nak, di pasar juga namanya ikan, tak iye??!! Rp 7000 saja bu!” (Jawab Yuk Mut)

Willi berkacak pinggang merasa dapat dukungan orang-orang sepasar.

Aku pura-pura menyiram bunga….

Cintaku padamu Indonesia - Elisabeth Hanung mbois teacher


Tuesday, April 9, 2013

Gegar Budaya

Menjadi guru dan murid itu berbatas waktu. Di sekolahku dua jabatan ini hanya berlaku mulai pukul 07.00-14.00, hari Senin-Saptu. Di Indonesia karier menjadi murid mungkin akan berakhir pada kisaran usia 17 th (wajib belajar 12 tahun) dan menjadi guru hanya sampai dengan usia 60 th. (usia pensiun standard guru pegawai negeri sipil). Pada jam-jam, atau hari-hari, atau usia-usia tertentu kita berhenti menjadi guru atau murid. Lain halnya dengan pendidikan, “education is a lifetime” (lupa yang ngomong siapa, yang ngerasa bisa langsung comment), pendidikan berlangsung seumur hidup. Termasuk di dalamnya mendidik seumur hidup dan terdidik seumur hidup. Maka aku selalu menyempatkan diri di akhir kegiatan mengajar untuk belajar pada bapak ibu guru mata pelajaran yang lain. Lumayan aku bisa menimba banyak ilmu. (Sebaiknya istilah itu diganti dengan memompa, - memompa ilmu, hasilnya lebih banyak energinya lebih sedikit,- bandingkan dengan menimba).
Beberapa hal yang sudah kupelajari:
  1. Sebutan guru dalam bahasa Cina adalah Lao Tse.
  2. Awalan “me-“ ditempel pada kata “ubah” menjadi “merubah”, bukan “mengubah”.
  3. Cara untuk menghitung kecepatan (V) adalah: membagi jarak (m) dengan waktu (t).
Lumayan kan?
Ketika minggu lalu giliran belajarku sampai pada pelajaran Antropologi, aku mengalami kemacetan pikiran. Brain Block. (entah istilah itu ada atau tidak). Topik yang kupelajari adalah “Gegar Budaya”. Mengingat antropologi adalah ilmu sosial yang abstract dan hanya bisa diimajinasikan maka aku berusaha untuk mengimajinasikan penjabaran panjang mengenai “Gegar Budaya”. Namun seberapapun keras aku berusaha, yang tergambar di kepalaku ketika mendengar dua kata itu tetaplah kepala retak karena kecelakaan lalu-lintas. Otakku tidak bisa membedakan “Gegar Otak” dengan “Gegar Budaya”. Namun yang namanya ilmu bisa didapat dari mana saja. Bahkan ketika kita dikerumuni orang-orang yang dianggap kurang berpendidikan, kita bisa mendapat ilmu.
Seperti ketika aku pulang sekolah dan pembantuku yang bernama mbak Tatik tiba-tiba minta diantarkan pulang, sudah 2 minggu ini ia dibuntuti hidung belang. Karena kebetulan suamiku belum pulang dari kantor maka aku meminta tolong Bapak Moreira yang tinggal di sebelah rumah untuk mengantar kami. Beliau adalah orang asli Papua yang berbadan besar dan berkulit hitam (biasa disebut orang Noge). Mengingat penampang fisiknya, aku berencana memintanya untuk mengusir si hidung belang yang menguntit mbak Tatik. Maka sore itu juga kami berangkat bersama-sama menuju desa Trajeng tempat tinggal mbak Tatik.
Memasuki desa Trajeng, jalan aspal berubah menjadi tanah berbatu. Bahasa Indonesia mulai bercampur-baur dengan bahasa Jawa khas kampung Trajeng. Orang-orang kota berpakaian mbois berprofesi pengusaha dan orang kantoran mulai berganti dengan orang-orang asli Trajeng yang suka memakai sarung dan songkok di sore hari dan biasanya bekerja menjadi buruh tani, pembantu rumah tangga, buruh pabrik. (biasa disebut orang Samin). 500 m dari rumah mbak Tatik, di sebuah gang yang sempit mobil, kami berpapasan dengan truk besar yang mengangkut muatan berat. Di kedua tepi jalan menganga got yang basah licin dan benyek yang bisa menjerembab ban kami dan menghisapnya seperti pasir hisap. (Setelan lebai diaktifkan). Pokoknya situasinya menyulitkan. Dengan sigap Pak Moreira turun dari mobil dan memeriksa keadaan.
“eee, kita banting kiri saja ibu, masi bisa ini.”
“Iya pak”. (jawabku pasrah)
Pak Moreira kemudian minta tolong pada seorang bapak-bapak yang duduk di teras depan rumahnya tepat di sebelah kiri jalan di mana kemacetan terjadi.
“eee bapak, sa mau banting kiri, tolong lihatkan ban saya ya!” (menggunakan logat Noge yang kental)
“Iya pak!” (menggunakan logat Samin yang kental)
Bapak-bapak itu kemudian berdiri dari kursinya dan berjalan mendekati mobil dan langsung menyelusup ke bagian bawah mobil kami dan memeriksa ban mobil dengan seksama. Pak Moreira bingung dan bertanya pada mbak Tatik.
“eee kenapa dia pergi ke bawah mobil?” (masih dengan logat Noge yang kental)
“lha tadi bapak yang nyuruh lihatkan ban.” (mbak Tatik sewot dengan logat Saminnya)
Aku turun tangan untuk menengahi keruwetan ini. (dalam hati aku merasa sepertinya aku mulai mengerti apa yang dimaksud gegar budaya).
Sesampainya di rumah mbak Tatik, si hidung belang playboy Samin yang ditakuti mbak Tatik sudah bercokol di depan rumahnya. Mbak Tatik ketakutan, aku mendorong pak Moreira untuk menghadapi laki-laki itu. Pak Moreira turun dari mobil dan berkacak pinggang.
“eee bapak, jadi bapak maunya apa?”
(sebagai catatan, dalam bahasa Indonesia Noge, kalimat ‘maunya apa?’ itu berarti menantang, mengnacam, bukan benar-benar ingin tau apa maunya lawan bicara)
Mendengar pak Moreira, si playboy Samin tadi senyum-senyum sambil mencuri-curi pandang ke mbak Tatik.
“yaaaa.... saya maunya kawin sama mbak Tatik....” (tersipu-sipu)
(sebagai catatan, dalam bahasa Indonesia Samin, kalimat ‘maunya apa?’ itu berarti tulus mempertanyakan keinginan lawan bicara)
Mendengar jawaban itu pak Moreira naik pitam, merasa tantangannya disambut. Mbak Tatik semakin sewot dengan pak Moreira dan semakin jijai pada si playboy Samin. Si playboy Samin sendiri merasa bingung kenapa pak Moreira marah mendengar jawabanya. Aku terpaksa menjadi penengah sekaligus penterjemah dalam situasi konflik antar budaya ini.
(dalam hati aku merasa aku sudah mengerti apa itu gegar budaya - keadaan di mana beberapa orang dengan latar belakang budaya yang berbeda bersinggungan sehingga mengakibatkan gegar otak pada tiap-tiap orang tersebut. Yups. Ngerti!)
Gegar Budaya.
Keesokannya ketika aku dengan jumawa menceritakan hal ini pada bapak guru yang mengajar antropologi, beliau menjawa “Salah bu...”
Ternyata sampai sekarang aku belum mengerti apa itu gegar budaya...
Eliana Hapsari – mbois teacher – never ending learning.

Monday, April 8, 2013

Rapor Pendidikan Karakter

Istilah "Pendidikan Karakter" adalah trend terbaru dari istilah "Pendidikan Budi Pekerti" yang sedang "hot-hot"nya disosialisasikan oleh Departemen Pendidikan sebagai kurikulum yang akan diampu para mbois teacher  di tahun-tahun mendatang. Negara kami ini memang suka sekali bermain istilah. Ada revolusi ada reformasi, ada SMA ada SLTA. Begitu banyak energi diapakai untuk mensosialisasikan perbedaan-perbedaan dari suku kata atau huruf di dalamnya yang membawa dampak signifikan dalam perubahan penjabaran.  Beraaaaaat..........
(Sejujurnya aku kadang tidak mudeng perbedaanya walaupun sudah duduk 1-2 jam dalam seminar-seminar sosialisasi tersebut.)

Pendidikan Karakter (kurang lebih kalau tidak salah berdasarkan penangkapan terbatasku yaaaa) adalah versi baru dari pendidikan budi pekerti yang sudah pernah ada sekitar 30 tahun yang lalu yang tujuannya mendidik siswa tidak hanya pandai dalam pelajaran tetapi juga mampu mengaplikasikan pelajaran-pelajaran tersebut dalam sikap hidup yang baik terhadap sesama sehari-hari. Betapapun menantangya memahami sebuah istilah baru, perubahan yang membawa kebaikan selalu mendapat tempat di hati para mbois teacher. Dalam beberapa waktu mendatang, istilah pendidikan karakter menjadi topik yng hangat bagi kami yang berkecimpung di bidang pendidikan. (Ngomong-ngomong, ada yng mau merubah istilah "berkecimpung"? "berkeriyapan" mungkin? "berkecipratan"?)

Bagiku pribadi, pendidikan karakter adalah alasan legal yang bisa dipakai untuk berargumentasi menghadapi anak-anak yang tidak mau bekerjasama dalam kelompok atau yang suka sekali mencontek, atau yang suka sekali membuly (meneror, memeras, mengucilkan, menyerang secara fisik, menyerang secara verbal) temannya.
Kebetulan sekolah di tempatku bekerja sudah lebih dulu mengimplementasikan pendidikan karakter jauh sebeum trend ini disosialisasikan pemerintah. Kami bahkan memberikan rapor karakter pada siswa-siswa kami. Maka ketika ada siswa yang rewel menolak bekerja sama dengan temannya aku bisa dengan percaya diri menyeringaikan taring-taring ku padanya.
"Yang tidak mau bekerja sama dengan teman yang sudah ibu tentukan ibu beri nilai C rapor karakternya".
 "Tapi bu, Arga bauuuuuu...!!!"
"Kamu mau rapor karaktermu dapat nila C?!!"
"Ngga bu....."
Lidia yng rewel itu menutup hidungnya kemudian menyeret bangku mendekati Arga yang pasang tampang tersinggung sambil memeriksa daerah-daerah tubuh nya yang telah dituduh mengeluarkan bau tidak sedap.
Pada jam istirahat aku membeli deodorant dan memberikannya pada Arga.
"Mungkin sudah saatnya kamu berhenti pakai bedak bayi Arga. Kmu kan sudah dewasa."

 Tahun ini adalah tahun ke 10 sejak penerapan nilai-nilai karakter dimasukkan dalam kurikulum seolah tempatku bekerja. Pendidikan Karakter membuat siswa-siswa berpikir dua kali sebelum mereka melakukan hal-hal yang tidak baik pada temannya.Salah satu karakter yang diajarkan di sekolah tempatku bekerja adalah karakter Emphaty. Karakter Emphaty diartikan sebagai kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain.
Tidak, mereka tidak belajar ilmu membaca pikiran, tapi belajar memahami perasaan orang lain.
Antara lain:
1. Siswa harus mampu mendengarkan dan dapat memahami perasaan orang lain.
2. Siswa harus mampu memberikan respon yang selaras dengan situasi dan kondisi yang dihadapi
3. Siswa harus mampu mengekspresikan emosi dengan baik.

Dari kisah Lidia dan Arga dapatlah disimpulkan bahwa:
1. Arga perlu belajar memikirkan perasaan temannya ketika memutuskan masuk sekolah dengan bau ketek
2. Lidia harus belajar mengutarakan masukan kepada temannya tanpa menyinggung perasaan

Maka ketika kubaca koran Kompas di perpustakaan sekolah Jumat lalu aku berpikir, seandainya 11 bapak-bapak KOPASUS dan Bapak Suprapto Sosiolog kriminal dari UGM itu mendapatkan pendidikan karakter ketika SMA mungkin akan lain wajah Kompas tgl  5 April.

1. Bapak-bapak KOPASUS perlu belajar mengekspresikan emosi dengan cara yang lebih baik (11 KOPASUS membunuh Preman Yogyakarta)
2. Bapak Suprapto Sosiolog Kriminal Yogyakarta perlu belajar mengutarakan respon yang selaras dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. ( beliau menyatakan di Kompas "Tugas utama aparat adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat bukan mengancam")

Karena kebetulan saya tinggal di malang maka seandainya ada preman malang terbunuh, saya agak kesulitan untuk merasa terancam.

Mohon maaf kepada bapak Suprapto sebelumnya, tapi Rapor Karakter anda saya beri C.
Peace..... (Damai ya pak hehehehehee......)

Eliana Hapsari - Mbois Teacher. 


Thursday, April 4, 2013

Mbois Teacher


Salah satu contact dalam bb ku memasang avatar "Mr. Indra mbois Teacher". Kata mbois sudah 20 tahun lebih tidak muncul dalam kosakata populer tata bahasa indonesia. Pun sejak 20 tahun yang lalu kata mbois tidak pernah disandingkan dengan kata teacher.-guru. Hal ini dikarenakan guru biasanya tidak mbois. orang mbois biasanya tidak jadi guru. Profesi kami distigmakan sederhana, rapi, berseragam. Kata mbois dapat diartikan menjadi bergaya, fashionable, up to date, sangat tidak guru sekali. Salah satu pertanyaan dalam tes psikologi penerimaan guru yang kujalani adalah:
1. Apakah anda suka mengikuti trend terbaru dalam berpakaian?
2. Apakah anda suka membelanjakan keuangan anda untuk keperluan fashion?
pertanyaan tersebut muncul beberapa kali dalam lembar yang terpisah dan aku sukses lulus tes tersebut karena aku selalu menjawab "tidak". Maka sukseslah aku menjadi seorang guru di salah satu sekolah yang ternama.

Kenyataanya guru memang tidak disarankan untuk tampil mbois. Di sekolah tempatku bekerja para guru tidak diperkenankan mewarnai rambut. Para guru juga tidak diperkenankan mewarnai kuku. Kami tidak diperkenankan memakai make up yang berlebihan. Dan kami juga tidak diperkenankan memakai aksesoris yng berlebihan. Intinya kami tidak diperkenankan tampil mbois. Namun aku yakin, yang dimaksud bapak Indra pada profile picture bb nya adalah bukan mbois penampilan, melainkan mbois pikiran, mbois hati.

Menghadapi remaja kelebihan hormon dan energi akibat konsumsi susu formula pada waktu kecil dan makanan siap saji pada waktu beranjak dewasa, diperlukan hati dan pikiran yang super mbois.

Bila anda masuk ke sebuah kelas berisi remaja berusia 13-17 tahun dan mengawali pelajaran dengan kalimat "anak-anak hari ini kita akan mempelajari sejarah pembangunan candi Borobudur pada jaman dinasti Syailendra" lalu mengambil kapur dan mulai menuliskannya di papan panjang-panjang, maka dalam waktu kurang dari 5 menit kelas anda akan dipenuhi zombie-zombie berseragam. Entah kenapa manusia zaman I-pad dan tabs sangat mudah sekali bosan. Di saat seperti itulah anda harus berpikiran mbois. Maka pada hari pertama aku mengqajar dengan ketar-ketir dan harap-harap cemas aku memperkenalkan diriku dan mengawali pelajaran dengan kalimat: " Selamat pagi anak-anak, hari ini kita akan membuat drama dengan mengangkat kisah pembangunan Candi Borobudur pada masa kejayaan dinasti Syailendra". Kemudian aku membagikan teks sejarah yang sudah kuubah menjadi naskah drama. Kuperhatikan kelas, tidak ada mata-mata zombie, terdengar kalimat2 "Aku mau jadi patih GajahMada" "Hush, patih Gajah mada bukan yang bikin candi doi!". Tercium bau antusias, Eliana Hapsari mbois teacher episode 1.

Selain pemikiran yang mbis, seorang guru juga sebaiknya memiliki hti yang mbois. Kami berhadapan dengan teknologi yang memungkinkan akses ke berbagai informasi termasuk informasi yang seharusnya tidak diperlukan anak usia belasan tahun. Semua kemudahan itu justru menjadi boomerang yang menjebak bagi anak-anak didik. Yang tidak siap akan dengan mudah terperosok dalam kesalahan hidup berefek jangka panjang.

Menjadi terbuka adalah langfkah pertama untuk membimbing dan menolong mereka dalam melalui masa-masa paling HIT dalam hidup mereka. Seperti Jumat ini ketika aku mendapati muridku menangis pada waktu pelajaran Sejarah ku. "Riana, kamu belum mengumpulkan tugas paper minggu llu ya? besok terakhir ya." Tiba-tiba Riana muridku yang cantik dan memang agak mbois penampilannya itu beruraian air mata. Aku panik, ini masi bulan pertamaku mengajar dan aku sudah membuat seorang murid menangis. Padahal kalau dipikir-pikir, pertanyaanku kan tidak terlalu menusuk hati, tugas yang kuberika itu juga bukan mission impossible buatkan dulu seribu candi. Situasi membingungkan ini menjadi lebih membingungkan ketika Riana memintaku bertemu dengannya sepulang sekolah di perpustakaan. Berbagai skenario muncul di pikiranku.
Kemungkinan1: "Bu, saya tidak terima, saya ini kan anaknya menteri pendidikan."
Kemungkinan 2: "Bu, saya tidak terima, saya ini kan anaknya kepala sekolah."
Kemungkinan 3: "Bu, saya tidak terima, sya ini kan anaknya bagian personalia sekolah"
Aku sudah bersiap-siap merasa jadi calon pengangguran ketika Riana berkata:
"Bu, saya hamil."
Wajahku pada waktu itu mungkin lebih mirip lampu setopan korslet. Merah, hijau merah hijau. Shock, lega, shock lagi lega lagi. Aku lega bukan anak bos yang kubuat menangis. Aku shock baru pertama kali mendapat pengakuan seperti ini. Aku berusaha tidak terlihat panik. berusaha terlihat tetap mbois hati.
"Riana, sekarang kamu tenang dulu, yang paling penting kamu harus memberi tahu orang tuamu tentang ini"
"Tapi bu, saya takut nanti ditanya papa siapa yang melakukannya..."
"kamu jangan takut Riana"
"Soalnya sya ngga ingat siapa yang melakukannya bu...."
Korslet itu sudah memadamkan lampu setopanku total. Aku mengarahkan segenap kekuatan untuk tetap mbois.
"Kok bisa kamu tidak ingat Riana..?"
"Soalnya waktu itu aku mabuk bu...tau-tau aku hamil...."
Dengan tetes kekuatan ,mboisku yang terakhir kupeluk Rianan.

Akhir pekan itu aku mendampingi Riana menceritakan masalah nya pada orang tuanya. pendampingan membuat amarah turun sampai dengan 50%. Aku berhasil meyakinkan orang tua Riana bahwa pada saat ini yang dibutuhkan Riana adalah dukungan bukan tekanan. Eliana Hapsari mbois teacher episode 2.

Tugas guru bukan sekedar mengajar, kami membuat ilmu menjadi pengalaman hidup dan pengalaman hidup menjadi ilmu.

Elisabeth Hanung - mbois teacher.