Orang bilang tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Ada lagi
yang bilang pengalaman adalah guru yang paling baik. Kalau kata Tantowi Yahya,
buku adalah candela dunia. Jadi Tantowi Yahya adalah guru yang paling baik di Cina. (Kalau ini kesimpulan anda berarti konsentrasi anda terpecah).
Bagiku sendiri ibulah yang paling bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan kita yang pertama dan yang utama.
Bagiku sendiri ibulah yang paling bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan kita yang pertama dan yang utama.
Sebagai seorang guru sekaligus ibu, aku sering merasa
gundah (bosen galau) melihat anakku yang setiap hari menyerap hal-hal yang
kuajarkan baik secara sengaja mauoun tidak sengaja.
Ketika wili (anakku yang baru serusia 3 tahun) membuang
bungkus permen di tempat sampah, aku sumringah optimis memandang masa depan.
Ketika willi melemparkan buku pada ayahnya (alih-alih
memberikannya dengan penuh sopan dan santun ketika disuruh mengambilkan buku)
aku kecut menerima pandangan menusuk menyalahkan dari ayahnya.
Ketika willi mengucapkan terimakasih pada ibu-ibu tetangga
rumah yang memberinya roti aku menggandengnya dekat-dekat sambil pasang tampang
“iya saya ibunya”.
Ketika wili kencing di halaman depan rumah tepat saat
ibu-ibu sedang belanja di seberang jalan, aku pura-pura menyiram bunga tidak
menghiraukan seruan willi.
“Ma! Ma! Aku pipis! Tidak ngompol!”
Beberapa psikolog menyatakan anak usia 2-5 tahun seperti
spons berjalan, mereka menyerap segala sesuatu dengan lebih mudah dibandingkan
spons berusia 20-50 tahun. Itulah mungkin yang menjadi dasar pemikiran ibu-ibu
jaman sekarang mulai mengajari balita mereka bahasa Inggris sejak dini. Mumpung
sponsnya masi menyerap dengan baik!
Hari minggu ini adalah pertemuan pertama spons ku dengan
sponsnya bu Kartika yang tinggal di seberang rumah yang sepertinya telah
tersirami bahasa Inggris. Edo (sponsnya bu Kartika usia 3,5 tahun) bersama
ibunya berbelanja pada si buk (tukang sayur asli Madura yang rutin lewat rumah
setiap pagi). Konflik antar spons terjadi ketika si buk mengeluarkan seekor ikan kakap dari bakul
jualannya.
“Fish!” (Edo)
“Ikan!” (Wili)
Fish!” (Edo)
“Ikan!” (Wili)
“Ini fish kan ma?” (Bu Kartika menganggung penuh charisma)
“Tuh kan ini fish, kakap fish!” (edo)
(Wili tidak meminta dukunganku wajahnya berkerut-kerut
mencari cara meyakinkan Edo bahwa ini adalah ikan)
Aku berusaha tidak ikut campur setengah karena aku bangga
pada kemandirian willi setengah lagi karena aku tidak mau berkonflik dengan ibu
Kartika yang sepertinya bangga sekali telah mengajarkan bahasa Inggris pada
anaknya lebih dulu dibandingkan aku. Aku tidak bisa menyalahkan bu Kartika,
kurikulum pendidikan setiap ibu adalah hak prerogative (bener ga nulisnya?) bu
Kartika.
Mari kita analisa kalimat Edo:
“Tuh
kan ini fish, kakap
fish!”
Kata-kata
yang dicetak tebal adalah kata-kata dalam bhs Indonesia, sedangkan “fish”
adalah bahasa Inggris. Cedera bahasa ini (mencampurbaurkan bahasa Inggris
dengan bahasa Indonesia) menginfeksi Edo karena ia masih berada dalam fase
menyerap, belum menyaring dan memilah . Ketika ibu Edo mengajarinya bahasa
Inggris Edo menyerapnya, ketika ia berinteraksi dengan orang-orang di luar
rumahnya (kebetulan Edo tinggal di Indonesia-seberang rumah) ia menjyerap
bahasa Indonesia. Dalam tidurnya, semua serapan itu berbaur tanpa folder-folder
yang terpisah. Ketika pagi hari
bahasa-bahasa yang bercampur itu menimbulkan konflik bahasa (Cedera Bahasa).
Maka
generasi Edo bermunculan di sana-sini, dan Williku kebingungan
menghadapi konflik-konflik akibat Cedera Bahasa…
“yuk
Mut ini apa?” (Wili bertanya pada yuk Mut si tukang belanja yang berasal dari
Madura)
“Do
remak itu ikan nak, di pasar juga namanya ikan, tak iye??!! Rp 7000 saja bu!”
(Jawab Yuk Mut)
Willi
berkacak pinggang merasa dapat dukungan orang-orang sepasar.
Aku
pura-pura menyiram bunga….
Cintaku padamu Indonesia - Elisabeth Hanung mbois teacher
Cintaku padamu Indonesia - Elisabeth Hanung mbois teacher
Mempelajari bahasa asing sejak dini dimaksudkan agar anak mulai menyukai bahasa tersebut dan dapat terbiasa dengan bahasa tersebut. Anak balita sedang dalam masa usia emas dan kemampuan mereka menyerap hal yang kita beri luar biasa besar.
ReplyDeleteAda juga catatan khusus bagi kita orang dewasa yg memperkenalkan bahasa asing pada anak balita atau usia dini. Teknik pengenalan bahasa asing yang salah dapat membuat anak (yang kalau pinjam istilah Hanung "cedera bahasa") dapat mengalami cedera membaca dan cedera berkomunikasi. Contoh nyatanya yang ada dalam kasusku adalah saat anak kelas 1 SD yang sudah hafal alfabet a/ei/ sampai z/zi/. Saat mereka mencoba belajar membaca mereka akan sulit membedakan penggunaan a/a/ dengan a/ei/ saat mulai mengeja bacaan. Dan saat itulah aku menjadi seperti terbang ke masa kuliah dulu saat Mam Sri berpesan jangan mengajari anak alfabet bahasa Inggris. OOooo ternyata ini yang dimaksud si Mam tho, jawabku dalam hati saat melihat secara nyata kasus "cedera membaca" saat itu.
Aku tertarik sekali dengan aksi Willy yang tidak mencari pembelaan mamanya dan mendapatkan dukungan wong Madura dan sepasar Malang, hahaha...
Kalau menurutku pembelajaran bahasa asing pada usia dini itu baik dan ok ok saja, tetapi lebih baik lagi mengajarkan anak untuk berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar karena hal tersebut akan mengasah nasionalisme anak dan jika fondasi Bahasa Indonesianya sudah kuat pola fikir dan kemampuan anak untuk berbahasa asing akan lebih efektif. ~ ms.ita