Thursday, April 11, 2013

Cedera Bahasa


Orang bilang tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Ada lagi yang bilang pengalaman adalah guru yang paling baik. Kalau kata Tantowi Yahya, buku adalah candela dunia. Jadi Tantowi Yahya adalah guru yang paling baik di Cina. (Kalau ini kesimpulan anda berarti konsentrasi anda terpecah).

Bagiku sendiri ibulah yang paling bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan kita yang pertama dan yang utama.

Sebagai seorang guru sekaligus ibu, aku sering merasa gundah (bosen galau) melihat anakku yang setiap hari menyerap hal-hal yang kuajarkan baik secara sengaja mauoun tidak sengaja.
Ketika wili (anakku yang baru serusia 3 tahun) membuang bungkus permen di tempat sampah, aku sumringah optimis memandang masa depan.
Ketika willi melemparkan buku pada ayahnya (alih-alih memberikannya dengan penuh sopan dan santun ketika disuruh mengambilkan buku) aku kecut menerima pandangan menusuk menyalahkan dari ayahnya.
Ketika willi mengucapkan terimakasih pada ibu-ibu tetangga rumah yang memberinya roti aku menggandengnya dekat-dekat sambil pasang tampang “iya saya ibunya”.
Ketika wili kencing di halaman depan rumah tepat saat ibu-ibu sedang belanja di seberang jalan, aku pura-pura menyiram bunga tidak menghiraukan seruan willi.

“Ma! Ma! Aku pipis! Tidak ngompol!”

Beberapa psikolog menyatakan anak usia 2-5 tahun seperti spons berjalan, mereka menyerap segala sesuatu dengan lebih mudah dibandingkan spons berusia 20-50 tahun. Itulah mungkin yang menjadi dasar pemikiran ibu-ibu jaman sekarang mulai mengajari balita mereka bahasa Inggris sejak dini. Mumpung sponsnya masi menyerap dengan baik!

Hari minggu ini adalah pertemuan pertama spons ku dengan sponsnya bu Kartika yang tinggal di seberang rumah yang sepertinya telah tersirami bahasa Inggris. Edo (sponsnya bu Kartika usia 3,5 tahun) bersama ibunya berbelanja pada si buk (tukang sayur asli Madura yang rutin lewat rumah setiap pagi). Konflik antar spons terjadi ketika si  buk mengeluarkan seekor ikan kakap dari bakul jualannya.

“Fish!” (Edo)
“Ikan!” (Wili)
Fish!” (Edo)
“Ikan!” (Wili)
“Ini fish kan ma?” (Bu Kartika menganggung penuh charisma)
“Tuh kan ini fish, kakap fish!” (edo)
(Wili tidak meminta dukunganku wajahnya berkerut-kerut mencari cara meyakinkan Edo bahwa ini adalah ikan)

Aku berusaha tidak ikut campur setengah karena aku bangga pada kemandirian willi setengah lagi karena aku tidak mau berkonflik dengan ibu Kartika yang sepertinya bangga sekali telah mengajarkan bahasa Inggris pada anaknya lebih dulu dibandingkan aku. Aku tidak bisa menyalahkan bu Kartika, kurikulum pendidikan setiap ibu adalah hak prerogative (bener ga nulisnya?) bu Kartika.

Mari kita analisa kalimat Edo:

Tuh kan ini        fish,       kakap    fish!”

Kata-kata yang dicetak tebal adalah kata-kata dalam bhs Indonesia, sedangkan “fish” adalah bahasa Inggris. Cedera bahasa ini (mencampurbaurkan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia) menginfeksi Edo karena ia masih berada dalam fase menyerap, belum menyaring dan memilah . Ketika ibu Edo mengajarinya bahasa Inggris Edo menyerapnya, ketika ia berinteraksi dengan orang-orang di luar rumahnya (kebetulan Edo tinggal di Indonesia-seberang rumah) ia menjyerap bahasa Indonesia. Dalam tidurnya, semua serapan itu berbaur tanpa folder-folder yang  terpisah. Ketika pagi hari bahasa-bahasa yang bercampur itu menimbulkan konflik bahasa (Cedera Bahasa).

Maka generasi Edo bermunculan di sana-sini, dan Williku kebingungan menghadapi konflik-konflik akibat Cedera Bahasa…

“yuk Mut ini apa?” (Wili bertanya pada yuk Mut si tukang belanja yang berasal dari Madura)


“Do remak itu ikan nak, di pasar juga namanya ikan, tak iye??!! Rp 7000 saja bu!” (Jawab Yuk Mut)

Willi berkacak pinggang merasa dapat dukungan orang-orang sepasar.

Aku pura-pura menyiram bunga….

Cintaku padamu Indonesia - Elisabeth Hanung mbois teacher


1 comment:

  1. Mempelajari bahasa asing sejak dini dimaksudkan agar anak mulai menyukai bahasa tersebut dan dapat terbiasa dengan bahasa tersebut. Anak balita sedang dalam masa usia emas dan kemampuan mereka menyerap hal yang kita beri luar biasa besar.

    Ada juga catatan khusus bagi kita orang dewasa yg memperkenalkan bahasa asing pada anak balita atau usia dini. Teknik pengenalan bahasa asing yang salah dapat membuat anak (yang kalau pinjam istilah Hanung "cedera bahasa") dapat mengalami cedera membaca dan cedera berkomunikasi. Contoh nyatanya yang ada dalam kasusku adalah saat anak kelas 1 SD yang sudah hafal alfabet a/ei/ sampai z/zi/. Saat mereka mencoba belajar membaca mereka akan sulit membedakan penggunaan a/a/ dengan a/ei/ saat mulai mengeja bacaan. Dan saat itulah aku menjadi seperti terbang ke masa kuliah dulu saat Mam Sri berpesan jangan mengajari anak alfabet bahasa Inggris. OOooo ternyata ini yang dimaksud si Mam tho, jawabku dalam hati saat melihat secara nyata kasus "cedera membaca" saat itu.

    Aku tertarik sekali dengan aksi Willy yang tidak mencari pembelaan mamanya dan mendapatkan dukungan wong Madura dan sepasar Malang, hahaha...

    Kalau menurutku pembelajaran bahasa asing pada usia dini itu baik dan ok ok saja, tetapi lebih baik lagi mengajarkan anak untuk berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar karena hal tersebut akan mengasah nasionalisme anak dan jika fondasi Bahasa Indonesianya sudah kuat pola fikir dan kemampuan anak untuk berbahasa asing akan lebih efektif. ~ ms.ita

    ReplyDelete