Kehilangan pembantu itu seperti supir angkot kehilangan kernek buat wanita karier. Nubruk-nubruk dan rempooong luar biasa. Ibunya Edo (kalo
ga tau siapa ini klik posting Cedera Bahasa) limbung dan tidak dapat berfungsi maksimal gara-gara pembantunya keluar karena dilamar
orang dan memutuskan untuk jadi ibu rumah tangga saja (IRT - bukan lagi
pembantu rumah tanga-PRT). Si ibu yang bekerja sebagai marketing sebuah bank yang ternama yang biasanya smart dan penuh visi ini merana. Sudah beberapa hari ini aku melihatnya pontang-panting di rumah
mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Semakin ke sini
jabatan bernama ibu rumah tangga semakin tidak diminati perempuan.
Aku sendiri
bukan ibu rumah tangga, hanya minggu ini bertepatan dengan Ujian Nasional jadi
aku mendapat libur satu minggu, dan berkesempatan untuk terpapar fenomena yang
mengharukan ini. Di kalangan ibu rumah tangga sendiri lebih banyak yang
mengeluh daripada yang menyukai status mereka. Banyak di antara mereka yang sebenernya
terpaksa menjalani profesi ini. Kalaupun ada yang memberikan testimoni positif,
bila kita dengarkan pernyataannya dengan telinga hati maka akan terdengar
seperti dipaksakan (telinga hati adalah indra hati yang dipakai untuk mendengar
segala sesuatu yang tidak didengar oleh organ pendengaran yng sbenarnya).
Mari
kita analisa pernyataan berikut ini:
“Jadi ibu rumah
tangga itu barokah lho jeng, tugas wanita kan memang merawat suami dan
anak-anaknya, memang jenuh si jeng tapi apa nggak bangga kalo kita melihat anak
kita dan suami kita sukses.”
- Pernyataan di atas menjelaskan bahwa kewajiban seorang
perempuan adalah:
merawat suami dan anak-anak √
- Pernyataan di atas menjelaskan bahwa hak seorang perempuan
adalah:
melihat anak dan suami sukses √ (yang ini centangnya setengah hati)
Pernyataan ke 2
itu tidak salah tapi kok sedih yah dengernya. Perempuan itu memang perempuan
tapi juga manusia individu yang mempunyai kebutuhan yang sama dengan mahluk
berjenis kelamin lainnya. Dalam teori piramida Maslow, puncak kebutuhan setiap
manusia setelah makanan pakaian dan tempat tinggal, dll adalah pengaktualisasian
diri. Dengan kata lain, perempuan juga pingin sukses, bukan cuma ngliatin suami
dan anaknya sukses.
Aku yakin banyak
yang manggut-manggut baca post ini kaaaan? Buktinya banyak perempuan yang nekat
bekerja demi memenuhi kebutuhan ini dan banyak ibu rumah tangga yang mengeluh
dan depresi. Tempat-tempat penitipan anak semakin sukses dan aku lebih sering
melihat anak kecil digendong baby sitter daripada ibunya sendiri. Pilihan itu
memang tidak pernah gampang. Menjadi ibu
rumah tangga yang ikhlas, bersemangat dan bahagia itu perlu motivasi yang lebih
tinggi dari sekedar “melihat anak dan suami sukses”.
Bagaimana kalau
kita coba sudut pandang yang ini:
Minggu lalu aku
menegur seorang murid yang tertidur di kelas. Ini adalah semester pertamaku
mengajar kelas 2, jadi aku baru bertemu dengan kasus tidur di kelas. (siswa di
kelas yang lebih muda belum ada yang berani tertidur di kelas)
“Alfian bangun.
Kamu kok tidur di kelas.”
Alfian terbangun
dengan mata yang merah hanya untuk tumbang lagi 10 menit kemudian.
“Alfian, sini
kamu, duduk di depan kelas saja. Biar ga ngantuk” (mbois teachernya mulai
sewot).
Dia beranjak dari tempat duduknya dan kemudian duduk di sebelah meja guru tepat
di dekat kakiku. Aku tidak merasa itu masalah, hari ini hari Senin jadi kami
para guru memakai celana. Setengah jam kemudian Reski tertidur lagi, hanya kali
ini lebih parah, dia ambruk ke kakiku dan tanpa sadar memelunya erat-erat
sambil ngeces! (anda boleh tidak percaya tapi ini benar-benar terjadi!). Satu
detik sebelum aku melayangkan LKS (tipis) ke kepalanya aku mendengar dia
bergumam “ma..”.
Gumaman itu seperti
sebuah lengan imajiner berkekuatan 1000 volt yang menghentikan ayunan tanganku.
Aku melanjutkan
kelas dengan Alfian tetap tertidur di kakiku. Siswa yang lain berusaha menahan
tawa karena aku menyuruh mereka tidak ribut supaya tidak mengganggu Alfian. Tetes2
air liur itu sudah membentuk pulau kecil di celanaku bagian betis. Bagaimana
reaksi Alfian ketika jam pelajaranku berakhir dan aku terpaksa membangunkannya
(kali ini dengan penuh kelembutan hati) bisa anda imajinasikan dengan leluasa.
Di ruang guru,
ibu Nina guru wali kelas Alfian yang hatinya lebih mbois dari saya menceritakan
latar belakang perilaku tidur Alfian. Sejak kelas satu ia sudah terkenal tukang
tidur di kelas bahkan tukang bolos. Ketika bu Nina mengunjunginya di rumah
rupanya ia tinggal sendiri di rumah yang terletak di kawasan mewah Malang itu.
Kedua orang tuanya adalah pengusaha yang berhasil yang selalu bepergian ke luar
kota. Ibunya memliki hotel dan convention center yang tersebar di seluruh Asia
Tenggara. Dan Alfian sudah sejak TK tinggal di rumah itu sendirian bersama
pembantu, sopir, satpam, anjing herder, game online, tv plasma, motor sport dan
mobil mewah serta credit card yang siap memenuhi semua kebutuhannya. Ia pontang
panting menghadapi semua fasilitas itu, karena ia tidak punya fasilitas bernama
“ibu”.
Ibu yang
menyuapimu ketika kita kecil.
Ibu yang
menemanimu belajar ketika kita mulai bersekolah.
Ibu yang mengomel
di malam minggu ketika kita beranjak remaja.
Ibu yang
memelukmu di malam hari kapanpun ketika kita membutuhkannya.
Aku tahu, argumen
“melihat anak sukses” tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kita akan
aktualisasi diri.
Tapi bagaimana
dengan argumen “melihat anak gagal”, apakah tidak cukup untuk membuat kita
merenungkan kembali:
“Apa sih definisi
aktualisasi diri yang sebenarnya....?”
maaaaam, aku monic XI IPS 2 :) jadi siapakah makhluk yang tidur di postingan ini? *kepo* btw mam, i like your blog! keep update mam~
ReplyDeletehahaha... it's my dirty little secret. thanx ya Moooo semangat baca puisinya nanti yaaaaaa
ReplyDeleteIbu Elisabeth, saya sudah baca artikel ini. Tulisan ibu menarik, bahasanya lancar dan enak dibaca.
ReplyDeleteKalau ibu berniat mengirimkannya ke majalah atau surat kabar, coba ambil target 1 majalah (misal, Sekar, atau Femina (rubrik Gado-gado)). Pelajari gaya bahasa, komposisi isi (antara informasi dan opini) dari artikel-artikel yang dimuat. Lalu, kita permak sedikit tulisan kita. Saya yakin, tulisan yang dimuat di majalah menyumbang motivasi luar buat kita.
Kalau ibu mau pilih yang lebih serius gaya bahasanya, coba kirim ke EDUCARE. Dulu, ketika masih aktif mengajar, saya sering kirim tulisan ke situ.
Oke deh, Bu, saya menghargai sekali usaha ibu untuk menulis (sekarang, guru yang menulis bisa menambah point untuk sertifikasi kan?). Kalau ibu mau bincang-bincang santai tentang tulisan, hubungi saja saya di abemoe@gmail.com
Sukses ya, Bu, sukses mengajar dan menulis. Serviam!