Sunday, April 14, 2013

Puncak Piramida Maslow


Kehilangan pembantu itu seperti supir angkot kehilangan kernek buat wanita karier. Nubruk-nubruk dan rempooong luar biasa. Ibunya Edo (kalo ga tau siapa ini klik posting Cedera Bahasa) limbung dan tidak dapat berfungsi maksimal gara-gara pembantunya keluar karena dilamar orang dan memutuskan untuk jadi ibu rumah tangga saja (IRT - bukan lagi pembantu rumah tanga-PRT). Si ibu yang bekerja sebagai marketing sebuah bank yang ternama yang biasanya smart dan penuh visi ini merana. Sudah beberapa hari ini aku melihatnya pontang-panting di rumah mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Semakin ke sini jabatan bernama ibu rumah tangga semakin tidak diminati perempuan. 
Aku sendiri bukan ibu rumah tangga, hanya minggu ini bertepatan dengan Ujian Nasional jadi aku mendapat libur satu minggu, dan berkesempatan untuk terpapar fenomena yang mengharukan ini. Di kalangan ibu rumah tangga sendiri lebih banyak yang mengeluh daripada yang menyukai status mereka. Banyak di antara mereka yang sebenernya terpaksa menjalani profesi ini. Kalaupun ada yang memberikan testimoni positif, bila kita dengarkan pernyataannya dengan telinga hati maka akan terdengar seperti dipaksakan (telinga hati adalah indra hati yang dipakai untuk mendengar segala sesuatu yang tidak didengar oleh organ pendengaran yng sbenarnya). 

Mari kita analisa pernyataan berikut ini:
“Jadi ibu rumah tangga itu barokah lho jeng, tugas wanita kan memang merawat suami dan anak-anaknya, memang jenuh si jeng tapi apa nggak bangga kalo kita melihat anak kita dan suami kita sukses.”
  1. Pernyataan di atas menjelaskan bahwa kewajiban seorang perempuan adalah:
merawat suami dan anak-anak
  1. Pernyataan di atas menjelaskan bahwa hak seorang perempuan adalah:
melihat anak dan suami sukses √ (yang ini centangnya setengah hati)

Pernyataan ke 2 itu tidak salah tapi kok sedih yah dengernya. Perempuan itu memang perempuan tapi juga manusia individu yang mempunyai kebutuhan yang sama dengan mahluk berjenis kelamin lainnya. Dalam teori piramida Maslow, puncak kebutuhan setiap manusia setelah makanan pakaian dan tempat tinggal, dll adalah pengaktualisasian diri. Dengan kata lain, perempuan juga pingin sukses, bukan cuma ngliatin suami dan anaknya sukses.

Aku yakin banyak yang manggut-manggut baca post ini kaaaan? Buktinya banyak perempuan yang nekat bekerja demi memenuhi kebutuhan ini dan banyak ibu rumah tangga yang mengeluh dan depresi. Tempat-tempat penitipan anak semakin sukses dan aku lebih sering melihat anak kecil digendong baby sitter daripada ibunya sendiri. Pilihan itu memang  tidak pernah gampang. Menjadi ibu rumah tangga yang ikhlas, bersemangat dan bahagia itu perlu motivasi yang lebih tinggi dari sekedar “melihat anak dan suami sukses”.

Bagaimana kalau kita coba sudut pandang yang ini:

Minggu lalu aku menegur seorang murid yang tertidur di kelas. Ini adalah semester pertamaku mengajar kelas 2, jadi aku baru bertemu dengan kasus tidur di kelas. (siswa di kelas yang lebih muda belum ada yang berani tertidur di kelas)

“Alfian bangun. Kamu kok tidur di kelas.”
Alfian terbangun dengan mata yang merah hanya untuk tumbang lagi 10 menit kemudian.

“Alfian, sini kamu, duduk di depan kelas saja. Biar ga ngantuk” (mbois teachernya mulai sewot).

Dia beranjak dari tempat duduknya dan kemudian duduk di sebelah meja guru tepat di dekat kakiku. Aku tidak merasa itu masalah, hari ini hari Senin jadi kami para guru memakai celana. Setengah jam kemudian Reski tertidur lagi, hanya kali ini lebih parah, dia ambruk ke kakiku dan tanpa sadar memelunya erat-erat sambil ngeces! (anda boleh tidak percaya tapi ini benar-benar terjadi!). Satu detik sebelum aku melayangkan LKS (tipis) ke kepalanya aku mendengar dia bergumam “ma..”.

Gumaman itu seperti sebuah lengan imajiner berkekuatan 1000 volt yang menghentikan ayunan tanganku.

Aku melanjutkan kelas dengan Alfian tetap tertidur di kakiku. Siswa yang lain berusaha menahan tawa karena aku menyuruh mereka tidak ribut supaya tidak mengganggu Alfian. Tetes2 air liur itu sudah membentuk pulau kecil di celanaku bagian betis. Bagaimana reaksi Alfian ketika jam pelajaranku berakhir dan aku terpaksa membangunkannya (kali ini dengan penuh kelembutan hati) bisa anda imajinasikan dengan leluasa.

Di ruang guru, ibu Nina guru wali kelas Alfian yang hatinya lebih mbois dari saya menceritakan latar belakang perilaku tidur Alfian. Sejak kelas satu ia sudah terkenal tukang tidur di kelas bahkan tukang bolos. Ketika bu Nina mengunjunginya di rumah rupanya ia tinggal sendiri di rumah yang terletak di kawasan mewah Malang itu. Kedua orang tuanya adalah pengusaha yang berhasil yang selalu bepergian ke luar kota. Ibunya memliki hotel dan convention center yang tersebar di seluruh Asia Tenggara. Dan Alfian sudah sejak TK tinggal di rumah itu sendirian bersama pembantu, sopir, satpam, anjing herder, game online, tv plasma, motor sport dan mobil mewah serta credit card yang siap memenuhi semua kebutuhannya. Ia pontang panting menghadapi semua fasilitas itu, karena ia tidak punya fasilitas bernama “ibu”.

Ibu yang menyuapimu ketika kita kecil.
Ibu yang menemanimu belajar ketika kita mulai bersekolah.
Ibu yang mengomel di malam minggu ketika kita beranjak remaja.
Ibu yang memelukmu di malam hari kapanpun ketika kita membutuhkannya.

Aku tahu, argumen “melihat anak sukses” tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kita akan aktualisasi diri.
Tapi bagaimana dengan argumen “melihat anak gagal”, apakah tidak cukup untuk membuat kita merenungkan kembali:

“Apa sih definisi aktualisasi diri yang sebenarnya....?”




3 comments:

  1. maaaaam, aku monic XI IPS 2 :) jadi siapakah makhluk yang tidur di postingan ini? *kepo* btw mam, i like your blog! keep update mam~

    ReplyDelete
  2. hahaha... it's my dirty little secret. thanx ya Moooo semangat baca puisinya nanti yaaaaaa

    ReplyDelete
  3. Ibu Elisabeth, saya sudah baca artikel ini. Tulisan ibu menarik, bahasanya lancar dan enak dibaca.


    Kalau ibu berniat mengirimkannya ke majalah atau surat kabar, coba ambil target 1 majalah (misal, Sekar, atau Femina (rubrik Gado-gado)). Pelajari gaya bahasa, komposisi isi (antara informasi dan opini) dari artikel-artikel yang dimuat. Lalu, kita permak sedikit tulisan kita. Saya yakin, tulisan yang dimuat di majalah menyumbang motivasi luar buat kita.

    Kalau ibu mau pilih yang lebih serius gaya bahasanya, coba kirim ke EDUCARE. Dulu, ketika masih aktif mengajar, saya sering kirim tulisan ke situ.

    Oke deh, Bu, saya menghargai sekali usaha ibu untuk menulis (sekarang, guru yang menulis bisa menambah point untuk sertifikasi kan?). Kalau ibu mau bincang-bincang santai tentang tulisan, hubungi saja saya di abemoe@gmail.com

    Sukses ya, Bu, sukses mengajar dan menulis. Serviam!

    ReplyDelete